Sabtu, 08 Desember 2012

Perjuangan Arisyanti, Guru di Desa Terpencil Bergaji Rp 200 ribu per Bulan



  Lampung - Aristya Lumban Tobing (25), adalah seorang guru SD di sebuah desa terpencil di Lampung Barat, Provinsi Lampung. Sebagai guru honorer, gajinya hanya Rp 200 ribu yang dibayarkan per tiga bulan. Itupun kadang waktu pembayarannya molor.

"Saya di gaji Rp 600 ribu per tiga bulan, itupun kadang telat 20 hari, bahkan lebih," kata Aristya, di sela-sela waktu mengajar, kepada detikcom, Jumat (7/12/2012).

SD Negeri 2 Wayharu merupakan tempatnya mengajar sudah dua tahun ini. Perempuan berjilbab ini memang bertempat tinggal tak jauh dari SD tersebut. Setiap hari dia ke sekolah dengan berjalan kaki.

SD Negeri 2 Wayharu terdiri dari 120 murid dengan 6 ruang kelas. Total guru ada 15 orang, dan 13 diantaranya masih bersatus honorer.

Jarak SD yang terletak di desa Pengekahan tersebut sekitar 4 sampai 5 jam perjalanan dengan sepeda motor ke kecamatan Bengkunat Belimbing. Padahal, siswa-siswi di SD ini harus berangkat ke sana untuk setiap masa ujian semester maupun ujian akhir nasional karena bahan soal yang tidak memadai.

Pantauan detikcom, setiap ruang kelas memiliki enam jendela berukuran 0,5x1 meter. Dindingnya terdiri dari tembok setinggi 1 meter, dan disambung dengan kayu ke atasnya. Meja dan kursinya terbuat dari kayu dan beberapa sudah mulai terlihat lapuk.

Kegiatan belajar mengajar di SD ini berlangsung pukul 8.00 WIB sampai 10.30 WIB. Tak jauh dari bangunan SD tersebut ada PAUD Sehati dan SMPN Satap 1 Bengkunat Belimbing yang kondisi bangunannya tak jauh berbeda.
Sumber : http://news.detik.com


Jika Dirugikan, GTT Siap Demo

   
SURYA Online, SURABAYA - Guru Tidak Tetap (GTT) langsung bereaksi cepat, atas kebijakan baru menyangkut honor mereka. Mereka masih menunggu kepastian, apakah Rp 18.000 itu setiap tatap muka, atau setiap jam pelajaran. Jika kebijakan baru ini malah merugikan GTT, mereka siap menggeruduk DPRD Kota Surabaya.

Eko Mardiono, Ketua Dewan Koordinator Honorer Indonesia (DKHI) Surabaya menyatakan, para GTT juga warga Surabaya yang berhak atas kesejahteraan. Jika honor GTT yang baru ini tak membawa kesejahteraan, Eko mengancam akan turun ke jalan.

“Kami sudah sering dirugikan. Dulu guru PNS tak mau mengajar banyak dan GTT yang lebih banyak mengajar. Giliran ada sertifikasi, guru PNS merampas kembali jam ajar yang sudah diserahkan. Akibatnya, guru tak punya jam. Sekarang, honor GTT Rp 18.000. Kalau ini dihitung per jam pelajaran bukan per tatap muka, ini jelas merugikan kami,” ujar Eko, Jumat (7/12/2012).

Meski besaran honor ini mengacu pada mekanisme UMK, namun Eko yakin masih banyak guru yang bakal menerima jauh di bawah UMK. Terutama mereka yang saat ini hanya mendapat jam piket, menjaga perpus, atau disuruh mengisi pramuka atau ekstrakurikuler. “Yang begini banyak. Kalau dikalikan empat mingu sekali pun, tetap jauh di bawah angka manusiawi di tengah-tengah mereka punya keluarga,” tambah Eko.

Namun, Atikoh, Sekretartis DKHI Surabaya agak sedikit tersenyum jika hitungan honor itu per tatap muka. Guru GTT Bahasa Inggris di SMKN 7 ini selama ini hanya mendapat honor Rp 210.000 kerena hitungannya per jam pelajaran. Tetapi jika per tatap muka, setidaknya akan menerima honor dua kali lipat atau Rp 504.000, karena Rp 18.000 x 7 x 4.

Namun kedua pengurus DKHI ini mengaku prihatin, dengan rekan GTT yang memiliki jam sedikit. Hingga kemarin, setidaknya ada 15 guru GTT mengeluh minta penjelasan pasti ke Dinas Pendidikan Surabaya.

Kepala Dindik Surabaya Ikhsan mengaku, masih mencari formula yang tepat untuk menghitung honor GTT. Namun, dia memastikan, bahwa semangat memberi honor GTT sesuai UMK. “Kita masih sempurnakan formulanya. Apakah dengan menghitung Rp 18.000 per tatap muka, atau langsung Rp 72.000 per bulan per jam,” kata Ikhsan.

Namun apa pun formulanya, hitungan Rp 18.000 per tatap muka sudah cukup mendekati kesejahteraan ketimbang sebelumnya Rp 30.000 per jam pelajaran. Kalau guru genap mengajar 24 jam, akan sampai pada UMK. Memang ada guru yang hanya mengajar dua atau empat jam. Tapi ini juga akan lebih baik, karena besaran honor juga naik seiring dengan sistem UMK.

“Saat ini yang perlu dipikirkan adalah mencari formula jika GTT itu memiliki jam lebih. Apakah dikembalikan, atau itu haknya karena lebih. Begitu juga apakah jika libur semester, apakah tetap berhak atas honor atau tidak,” kata Ikhsan. 

Kamis, 06 Desember 2012

Guru Honorer Belum Dapat Penghasilan Layak



 
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah pusat dan daerah sudah seharusnya memperjuangkan subsidi untuk meningkatkan kesejahteraan guru honorer. Hal ini diungkapkan Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti, saat dihubungi di Jakarta, Selasa (4/12)
"Guru honorer belum mendapatkan penghasilan layak, sudah seharusnya pemerintah daerah dan pusat memperjuangkan nasib guru honorer," kata Retno.
Berdasarkan kajian FSGI, honor guru honorer terkecil adalah di Pandeglang, Banten yang hanya Rp 60 ribu per bulan. Sementara di Tangerang Rp 175 ribu per bulan.
Untuk kesejahteraan guru honorer di Jakarta lebih baik karena mendapat Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) sehingga honor yang diterima bisa mencapai Rp 400 ribu per bulan. Namun penghasilan tersebut masih belum dipotong pajak.
Menurut dia, dari hasil kajian itu, dapat disimpulkan hingga saat ini guru honorer belum ada yang memiliki penghasilan memadai."Artinya ini menunjukkan guru honorer belum sejahtera di manapun berada termasuk Jakarta," katanya.
Lebih lanjut dia mengatakan bahwa kesejahteraan yang minim menyebabkan kualitas guru menjadi rendah. "Pemerintah kemudian menyatakan mutu guru rendah, ya wajarlah. Dengan gaji seperti itu jangan pernah berharap mutu akan tinggi," katanya.
Menurut dia, pemerintah boleh menuntut kualitas guru jika kesejahteraan guru sudah memadai. "Guru baru bisa kita tuntut kualitasnya bila hidup layak dia dapatkan, minimal ya UMR, saya rasa itu sudah mencukupi," katanya.
Sebelumnya, Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia Sulistiyo mengatakan para guru honorer di tanah air saat ini kondisinya memprihatinkan, karena penghasilannya di bawah standar upah minimum akibat ketidakjelasan status mereka.
Sulistiyo meminta pada pemerintah untuk mulai memperhatikan para guru honorer dan mengangkat yang telah memenuhi syarat sebagai PNS. Pasalnya, tidak sedikit guru honorer ini yang justru menunaikan kewajibannya sebagai pendidik dengan kapasitas lebih baik daripada guru yang memiliki status PNS.

Selasa, 04 Desember 2012

PGRI Usulkan Penetapan Gaji Minimal Guru Honorer

  

BOGOR- Sentul ICC (4/12/2012) Persatuan  Guru Republik Indonesia (PGRI) mengusulkan pemerintah juga menetapkan gaji minimal bagi guru swasta dan guru honorer, setelah  ketentuan  tersebut telah dibuat untuk guru yang merupakan pegawai negeri sipil.
“[PGRI] Mengusulkan adanya penetapan gaji minimal seorang guru untuk swasta dan guru honorer,” kata Ketua Umum Pengurus Besar PGRI Sulistiyo saat  memberikan sambutan di acara puncak peringatan Hari Guru Nasional tahun 2012  dan HUT ke-67 PGRI di Auditorium Sentul International Convention Center,  Sentul, Bogor, Jawa Barat Selasa (4/12/2012).
Apalagi  tambahnya, selama ini kekurangan tenaga pengajar PNS di sejumlah sekolah di Indonesia juga diisi oleh guru honorer.
Pemerintah menetapkan penghasilan minimal bagi guru PNS minimal senilai Rp2 juta/bulan sejak tahun 2009. Sementara, ujarnya, untuk guru swasta dan honor sampai saat ini belum mampu disamakan dalam penetapan minimal penghasilan perbulannya.
“Guru swasta dan honor belum mampu disamakan. Mudah-mudahan ada kebijakan, termasuk dari pemerintah kota yang berpihak kepada mereka,” kata Sulistiyo.
(solopos.com, 4 Desember 2012)